Berlibur di Pulau Pandang dan Pulau Salah Namo

Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba temannya mama yang tahun lalu sempat menawari kami berlibur bersama ke Pulau Salah Namo, Ibu itu datang menagih janji. Secara tiba-tiba, hari itu juga kami harus berangkat, aku ditawarin untuk nantinya memasarkan secara online Cottage yang baru dia bangun di Pulau Pandang, sekitar 30 menit perjalanan naik kapal dari Pulau Salah Namo. Berhubung sudah lama tidak liburan, aku langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang, toh... sambil bekerja juga nantinya di sana. Karena pekerjaan ternikmat kan liburan yang gratis (...dan dibayar). Hehehe. Aku boleh mengajak teman, kata Ibu itu. Orang pertama yang terlintas tentulah Keda, aku menelponnya dan langsung menyuruhnya bersiap-siap untuk pergi ke Pulau sekarang juga. Dia yang baru saja bangun tentu tidak percaya, sampai-sampai harus memastikan berkali-kali hingga akhirnya dia percaya. Mama yang tadinya ragu untuk ikut karena harus meninggalkan papa juga memutuskan ikut pergi dengan kami, dan Emi juga turut

Bikin Paspor Tanpa Calo

Salah satu penyakit sosial kebanyakan orang Indonesia adalah malas. Tapi gak bisa disalahkan juga sih, sistem birokrasi di Indonesia yang sering kali berbelit-belit, merepotkan dan menyita banyak waktu membuat mau tak mau memilih jalan, menggunakan jasa calo.

Buat aku, paling pantang pake calo, selain gak punya duit, aku punya prinsip selagi muda, badan ini masih sanggup untuk bekerja dengan baik, lantas tidak ada salahnya menggunakan waktu pengacara (pengangguran banyak acara) ini untuk menunggu berhari-hari (oke, ini lebay) di imigrasi sampai pasporku selesai. Dan yang paling penting melawan praktek KKN. Hidup bikin paspor tanpa calo. Hidup!

Sebagai contoh, kasus aku untuk membuat paspor sebagai syarat perjalanan ke luar negeri pertama kali pada 27 Januari 2014. Sebelum tanggal tersebut tiba tentunya aku sudah harus 'menjadikan' paspor tersebut atau tidak jadi pergi. Aku mengancam diriku sendiri agar tidak malas.

Tahap I: Pengajuan Berkas dan Pembayaran (3 Januari 2014)

Aku mengajukan permohonan pembuatan paspor pada 3 Januari 2014 di Kantor Imigrasi kelas II Tanjung Balai, Asahan. Sudah pasti sebelum hari H, hidupku dibuat jungkir balik oleh urusan berkas sana-sini yang bikin heboh orang sedunia. Untuk antisipasi, bahkan sebulan sebelumnya aku juga sudah mencari informasi di internet agar lebih memudahkan saat mengurus paspor nantinya tapi ternyata tak satupun informasinya memuaskanku.

Aku juga sudah mencoba mengapply online melalui website resmi imigrasi yang ternayata berbuah nihil, data yang diinput tidak dapat diproses untuk kantor wilayah daerah. Berbeda dengan kantor imigrasi di Jakarta, mengurus paspor jauh lebih mudah karena untuk urusan pengecekan berkas sudah terlewati satu tahap karena dapat dilakukan melalui website, mereka menghemat satu hari.

Selain itu, aku berpura-pura mendatangi calo untuk mencari tahu berkas apa saja yang perlu disiapkan. Hasil rangkuman dari informasi yang kudapat dari sana-sini, mengharuskanku membawa berkas-berkas:
1. KTP; asli
2. KK; asli
3. Akte kelahiran; asli (bisa juga dengan menggunakan ijazah)
4. KTP Ayah/Ibu; asli
5. Buku Nikah Ayah/Ibu, asli dan fotokopi (yang ternyata sama sekali tidak diperlukan)
6. Fotokopi KTP, diperbesar seukuran setengah HVS (saat di fotokopi, untuk mengurus paspor)
7. Fotokopi KK, ukuran HVS
8. Fotokopi Akte kelahiran, ukuran HVS
9. Fotokopi KTP Ayah/Ibu, diperbesar seukuran setengah HVS
10. Surat izin orangtua, bermaterai (yang ternyata formulirnya sudah disediakan, tidak perlu dibuat)

catatan: adapun syarat-syarat di atas adalah sesuai dengan kondisiku sebagai anak perempuan berusia 22 tahun yang memiliki KTP berstatus pelajar/mahasiswa.

Selanjutnya, datanglah sepagi mungkin jika ada waktu senggang. Jadi kita bisa mencegah dan melengkapi berkas-berkas yang kurang atau mungkin direpotkan oleh petugas di kantor imigrasi.

Pengalamanku sempat diribetkan oleh petugas keamanan di pintu masuk kantor imigrasi hanya karena saya memakai rok  kembang di atas lutut, tidak bisa ditawar untuk dibujuk, entah peraturan dari mana, setahuku  syaratnya hanya berpakaian rapi, akhirnya aku dan teman-teman melengos pergi mencari solusi. 

Berhubung perjalanan antara kotaku, Kisaran ke kantor imigrasi Tanjung Balai cukup memakan waktu (sekitar setengah jam, naik mobil) aku memutuskan membeli rok kembang, dibawah lutut dengan harga 15.000 di Monza*

Aku tidak mau usaha kami menjadi sia-sia hari itu, maka kami kembali ke kantor imigrasi dan disetujui untuk masuk. Cerita punya cerita, dia ikut mengantarkan, berjalan beriringan dengan kami saat memasuki kantor, lalu kami ditawari... jasa calo. Rasanya ingin aku memaki tapi kutahan karena aku ingin ini cepat selesai.

Kami diharuskan mengisi formulir terlebih dahulu. Formulir dan surat izin dari orang tua bisa didapatkan secara gratis di koperasi tapi kami harus membeli map (meskipun tertulis kata 'gratis' di depannya), materai (sebuah) dan sampul paspor, semuanya dikenakan Rp 18.000/orang. Oh ya... jangan lupa bawa pulpen dan penghapusnya. Lumayan bisa menghemat...

Formulirnya harus diisi dengan data dan informasi identitas diri. Sedangkan surat pernyataan orang tua, harus ditandatangani oleh ayah/ibu, jadi keahlian meniru tandatangan sangat diperlukan di sini jika tidak ingin kembali lagi hanya karena bubuhan tandatangan. Atau jika tidak bisa menirukannya, maka sempatkanlah waktumu untuk membeli formulir dll, sehari sebelumnya untuk diisi di rumah.

Untuk yang sudah berkeluarga, maka yang didapat adalah surat pernyataan dari suami/istri yang bersangkutan, namun bagi yang sudah bekerja, dapat lebih dimudahkan dengan surat rekomendasi kantor terutam bagi yang akan melakukan perjalanan untuk pekerjaan.

Hari itu tidak terlalu ramai, biasanya setelah usut punya usut, orang-orang yang mengurus paspor di sini adalah calon jemaah haji atau TKI, makanya mereka agak ketat dalam menyeleksi para pengaju berkas. Waktu sudah meunjukkan hampir pukul 12, sesuai dengan ketentuan yang tertulis besar-besar di pintu masuk, bahwa paling lambat penerimaan berkas setiap harinya, diterima pukul 12 siang.

Jam 11. 55, kami sudah mendapat nomor antrian, setelah pertama kali diperiksa oleh ibu costumer service yang galak mukanya, yang juga bertanya "ini kapan ditandatangani surat dari orangtuanya?" lalu aku menjawab dengan berbohong "oh, ini kemarin dibawa pulang dulu bu"

Kami (aku dan temanku, Keke) menunggu sambil berdoa dalam hati agar kami masih termasuk dalam orang-orang beriman... eh yang diperiksa berkasnya hari ini karena waktu yang sebentar lagi menunjukkan waktu sholat Jumat dan kami harus menunggu hingga selesai waktu makan siang jika tidak kedapatan dipanggil.

Tapi ternyata keberuntungan masih milik kami. Keke dipanggil untuk diseleksi berkasnya terlebih dahulu, aku berdiri di belakangnya. Keke dihujani berbagai macam pertanyaan menyulitkan sehingga membuatnya berjanji membawa orang tua sebagai jaminan saat wawancara nanti. Aku pikir aku akan bernasib sama, namun setelah tiba giliranku si bapak menjadi melembut, malah menggodaku dengan beberapa pertanyaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembuatan paspor.
"masih sekolah atau udah kerja dek?"
"tinggal di mana?"
"kerja di mana?"
"ke sini sama siapa?"
astagaa.... aku sampai geli sendiri mengingatnya terutama ketika si bapak ditegur oleh atasannya agr tidak berlama-lama mengurus berkasku tapi berhubung kepergian kami bersama-sama, aku dan keke tetap harus membawa orang tua.

Aku tidak terlalu paham bahwa sebenarnya ketentuan tersebut ada di setiap kantor imigrasi atau hanya kebijakan petugasnya saja, tapi memang, buat pelajar/mahasiswa harus membawa wakil sebagai jaminan saat wawancara nanti. Setelah lewat tahap itu dan berkas kami di tahan, kami mendapat kertas putih berisikan cetakan nama, nomor pengajuan, jadwal (untuk wawancara, sidik jari dan foto) dan nilai yang harus dibayarkan pada Bank BNI, yaitu Rp 255.000 dan harus dibayarkan hari itu juga.

Dulunya, kita dapat langsung menyetorkan tunai di Imigrasi, tapi sekarang harus disetor tunai melalui Bank BNI, beberapa kantor Imigrasi terutama untuk di Ibukota sudah bisa melalui ATM BNI tapi tidak dengan Asahan-Tanjung Balai. Dan tidak sembarang Bank BNI, harus sesuai dengan Bank BNI yang telah ditunjuk jika ingin setor tunai. Total yang dibayar Rp 255.000 + Rp 5.000 untuk biaya administrasi.

Tahap II: Datang Lagi Untuk Foto, Wawancara dan Sidik Jari (7 Januari 2014)

Sebenarnya dulu, menurut D (yang ikut bersama kami), prosesnya bisa dipersingkat menjadi total dua hari saja, jika tidak sedang ramai karena tahap I dan II nya digabung. Sekarang tidak lagi, foto wawancara dan sidik jari dilakukan di hari yang berbeda.

Menurut jadwal kami harus tiba pukul 8-11 pagi, sesampainya di sana, kami (lengkap dengan membawa ibunya masing-masing) mengambil nomor antrian setelah menukarnya dengan bukti pembayaran di loket. Lalu tidak berapa lama aku dipanggill untuk foto & sidik jari, untuk syarat foto, harus berpakaian berkerah (kemeja), rapi dan tidak boleh berwarna putih. Tidak sampai lima menit aku berpindah ke meja wawancara yang hanya ditanya...
"mau kemana?"
"ngapain ke sana?"
setelah dicap sana-sini, tidak sampai lima menit lainnya proses wawancara sudah selesai, dan ibuku tidak ditanyai sedikitpun. Rasanya entah apa gunanya merepotkan ibu -_-

Aku mendapatkan kertas yang berisikan tanggal kedatangan untuk mengambil paspor pada tanggal 13 Januari 2014.

Tahap III: Pengambilan Paspor (13 Januari 2014)

Akhirnya penderitaan ini telah selesai, pasporku sudah selesai pada 13 Januari 2014, proses yang menyakitkan itu, yang mengeluarkan banyak keringat dan air mata akhirnya selesai juga. Hahaha. Semua orang berakhir bahagia. Liburan telah tiba.




Catatan:
*Monza = Pusat jual-beli baju, sepatu, tas, tali pinggang, kain, boneka dan bahkan pakian dalam bekas dari berbagai belahan negara yang dijual berpusat di Tanjung Balai. Biasanya sangat mudah menemukan pakaian bermerek terkenal yang dijual dengan harga sangat miring (lain waktu aku akan bercerita tentang ini)

Komentar