Berlibur di Pulau Pandang dan Pulau Salah Namo

Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba temannya mama yang tahun lalu sempat menawari kami berlibur bersama ke Pulau Salah Namo, Ibu itu datang menagih janji. Secara tiba-tiba, hari itu juga kami harus berangkat, aku ditawarin untuk nantinya memasarkan secara online Cottage yang baru dia bangun di Pulau Pandang, sekitar 30 menit perjalanan naik kapal dari Pulau Salah Namo. Berhubung sudah lama tidak liburan, aku langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang, toh... sambil bekerja juga nantinya di sana. Karena pekerjaan ternikmat kan liburan yang gratis (...dan dibayar). Hehehe. Aku boleh mengajak teman, kata Ibu itu. Orang pertama yang terlintas tentulah Keda, aku menelponnya dan langsung menyuruhnya bersiap-siap untuk pergi ke Pulau sekarang juga. Dia yang baru saja bangun tentu tidak percaya, sampai-sampai harus memastikan berkali-kali hingga akhirnya dia percaya. Mama yang tadinya ragu untuk ikut karena harus meninggalkan papa juga memutuskan ikut pergi dengan kami, dan Emi juga turut

Pengalaman Naik Kereta Jam 7 Pagi di Jakarta


Jika ingin menikmati perjalanan, jangan coba-coba naik kereta sekitar jam 7-8 pagi. Hiruk pikuk di transportasi yang mengangkut warga ke pusat Jakarta sebagai tempat mengadu nasib, tampak tumpah ruah di jam-jam sibuk seperti ini.

Senin pagi, saya tiba pukul 7.05 di Stasiun Tanjung Barat dan seperti biasa saya menaiki kereta jurusan Tanah Abang. Sudah lama tak berangkat sepagi ini dikarenakan libur kuliah, saya kehilangan sebagian aktivitas namun dapat membuat saya lebih menyesuaikan waktu di kantor (baca: masuk siang). Bosan keseringan berangkat siang, hari itu saya semangat menyisiri kota Jakarta lebih pagi, meski tingkat kepadatan sepertinya meningkat 200% dibanding hari-hari lainnya.

Sudah banyak yang menunggu di peron stasiun, dengan bermacam tujuan, aktivitas dan pikiran di dalam otaknya masing-masing. Saya tidak bisa membaca pikiran, tapi semua orang dewasa yang akan bekerja, yang akan menuju kantornya pastilah sedang terburu-buru. Mengejar waktu, menaiki kereta tercepat yang didapat.

Kereta dengan tujuan Tanah Abang belum tiba sesaat sesampainya saya di stasiun. Kereta dengan tujuan Jakarta Kota lah yang lebih dahulu sampai, lalu diikuti kereta tujuan Tanah Abang dibelakangnya. 
Di sebelah saya berdiri seorang ibu berpakaian kantoran bersama temannya yang sedang bercakap-cakap. Mereka tampak bahagia, tak sedikitpun tersirat wajah ngeri akan kepadatan seperti apa yang dihadapi nantinya, mereka sudah terbiasa, terlatih, mahir dan memilki trik-trik khusus dalam naik kereta di jam-jam padat. Bahkan dia sempat, berkata dengan petugas kereta:

“Mas, nanti bantu dorong ya,” ujarnya dengan gerak tubuh seperti mendorong sambil tersenyum kecil

Entah apa maksudnya, saya belum mengerti dorongan seperti apa yang dia maksud. Ah kita lihat saja lah nanti, rasa penasaran saya memburu sambil terus memperhatikan gerak-gerik si ibu.

Sekitar 10 Menit berselang, kereta yang akan saya tumpangi pun tiba.

Sempat hanya melirik ke dalam dan saya kemudian membandingkan isi manusia di dalam kereta Jakarta Kota yang tak ada bedanya kereta dengan tujuan Tanah Abang yang akan saya naiki, padatnya sama-sama tingkat dewa. Parah!

Tersirat keinginan mengurungkan niat menaiki kereta yang saat ini ada di depan mata saya. Benar-benar tak ada celah sedikitpun. Melalui pertimbangan akan jumlah kereta Tanah Abang yang  jauh lebih sedikit dibanding ke Jakarta Kota, saya pasrah melangkah masuk, terdorong-dorong, berkumpul dengan penumpang lainnya yang senasib menjadi ikan pepes di dalam gerbong wanita.

Membuktikan argumen saya bahwa ibu yang tadi berdiri tepat di samping adalah orang yang berpengalaman, rasa penasaran saya terbayar. Mereka dibantu didorong oleh petugas untuk masuk ke dalam kereta yang sudah penuh tanpa celah tersebut. Didorong terus, terus dan terus hingga si ibu dan temannya muat masuk ke dalam dan pintu pun tertutup. Hahaha, ada-ada saja usaha orang untuk menumpang kereta.

Semua orang rela menahan perut, menahan nafas, menguruskan badan sesaat. Ya! Semua orang di dalam kereta jam padat tengah berjuang. Perjuangan dimulai di hari yang sepagi itu. Naik kereta  pun membuat  mereka harus bersaing, tak jarang bahkan di antara mereka yang sengaja tak sengaja saling sikut menyikut di dalam kereta. 

Yang sudah paham dengan kehidupan di kereta, mungkin akan pasrah dan membiarkannya berlalu, berbeda dengan yang berakal pendek, pantang disulut, ada yang akan  mencari masalah,  dia akan meladeni keributan meski di keramaian kereta. Namun biasanya mereka yang berkelahi akan disambut dengan sorakan dari seluruh penumpang di gerbong tersebut.

Syukur, tak ada keributan di kereta yang saya tumpangi pagi itu. Melewati stasiun demi stasiun, Pasar Minggu, Pasar Minggu baru, Duren Kalibata dan Cawang, penumpang terus bertambah, tak imbang dengan penumpang yang keluar. 

Perjuangan mempertahankan posisi berdiri pun menjadi satu-satunya hal yang saya perhatikan saat itu. Saat kereta berjalan tersendat-sendat, menjaga diri agar tidak terjatuh bukanlah hal utama yang saya pikirkan di kereta padat tanpa celah seperti pagi itu, saya bahkan tidak memiliki ruang untuk menggerakkan tangan kaki. Saya hanya menjaga agar saya tidak mati tergencat kehabisan nafas di tengah lautan manusia ini. Itu saja.

Namun, begitu kereta berhenti sampai di Stasiun Tebet. Perjuangan  lainnya pun dimulai lagi, saya harus berjuang agar saya tidak terikut arus penumpang yang  hendak turun atau sekadar mengubah posisi diri ke dekat pintu agar lebih mudah turun di stasiun Manggarai

Berapa banyak yang turun di Tebet? Ratusan. Lebih.

Seperti layaknya separuh warga Indonesia adalah penduduk Tebet, kerja di Tebet, nongkrong di Tebet dan hidup untuk Tebet.  Kereta tampak lebih lengang sesaat setelah menurunkan penumpang jurusan Tebet. Populasi kepadatan penduduk Tebet membuat saya berdecak kagum dan heran.

Mungkin tak ada masalah dengan sebagian penumpang lainnya yang (juga tak kalah banyak) turun di Manggarai atau Sudirman. Manggarai, sebagai pusat alih arus KA, pusat perpindahan penumpang yang ingin ke Tanah Abang yang semula naik Commuter jurusan Kota akan pindah dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan di Sudirman, di sinilah 7/8 manusia yang tersisa di dalam kereta akan bermuara, di pusat Jakarta, jantung kota.

Sebelum kereta tiba di Stasiun Sudirman, sayup-sayup saya mendengar suara microphone diketuk-ketuk disertai bunyi deheman dari speaker kereta yang biasanya digunakan untuk meginformasikan nama stasiun yang akan dituju selanjutnya. Saya ingat betul, sedari tadi tak ada informasi serupa. Sudah cukup telat saya kira untuk memberitahukan (atau tiba-tiba mengingatkan) bahwa stasiun selanjutnya adalah Stasiun Sudirman. Semua orang sudah tau toh.

Lalu masinis pun mengeluarkan suara:

“Good Morning….” Katanya dengan nada penuh ceria, menimbulkan semburat senyum di wajah saya. Melihat ke samping saya, orang di sebelah juga tersenyum kecil mendengar hal yang sama.
“Sesaat lagi kita akan mencapai stasiun sudirman. Penumpang yang akan turun, diharapkan segera mempersiapkan diri. Perhatikan barang bawaan Anda seperti tas, laptop dan handphone jangan sampai ada yang ketinggalan. Hati-hati melangkah, selamat bekerja dan sampai bertemu kembali”

Belum puas menyerocos, masinisnya kembali menambahkan

“Dan… hati-hati,” kali ini dia mengulang kata-kata tersebut dengan nada seperti Jeremy Tety.  Seketika suasana menjadi sedikit riuh di gerbong wanita paling depan ini. Mereka berbisik-bisik terkikik. Tak bisa bohong, segaris senyum tipis terlukis mewarnai wajah setiap perumpang yang turun di Stasiun Sudirman dan sejumlah penumpang yang tersisa lainnya

Keadaan kereta tentu jauh lebih lengang lagi saat kereta telah menurunkan sebagian besar penumpangnya di Sudirman. Seharusnya saya turun di sana, berjuang mempercepat langkah ,memburu barisan paling depan agar bisa ke luar dengan selamat, sebelum pintu ditutup.

Aaa! Tapi tidak, saya mohon ampun.  Saya lelah berjuang dengan jalan yang sama dengan 7/8 isi penumpang dari kereta yang saya naiki. Sudah terlintas bayangan di kepala saya, kami akan melewati jalan yang sama, eskalator yang sama, pintu keluar yang sama dengan berdesak-desakan, saling sikut ingin cepat, ingin mendahului berjuang lagi untuk… menaiki Kopaja 19. Siapa cepat dia dapat, yang tangguh tentu mendapatkan tempat duduk yang nyaman, sedangkan yang lainnya bernasib sama seperti penumpang kereta tadi. Berdiri berdesakan.

Tidak, saya mohon ampun untuk kali ini. Saya tidak akan melewati hal yang sama lagi. Untungnya pengalaman pernah tersasar ke Stasiun Karet mengajarkan saya lebih tahu sedikit jalan pilihan. Saya turun di stasiun Karet, memilih menjalani jalan yang berbeda dengan mereka yang melintas jalan raya Sudirman. 

Tiba pukul 8 di Karet, saya sudah merasa menang hari itu dengan segenap kesabaran atas kerepotan yang terjadi  di balik penderitaan sepatu hak tinggi dan kereta yang padat. Saya melangkah dengan bahagia, keluar dari stasiun Sudirman. Tapi sepertinya takdir menjawab lain pada saya pagi ini. 

Tentu seperti biasa saya mendapat kursi yang nyaman di Kopaja 615 menuju Senayan, tempat kantor saya terletak. Namun, tak ada yang menyangka, kawasan Karet yang biasanya lancar, pagi itu harus diwarnai dengan kemacetan dikarenakan adanya kebakaran di jalan tol. 

Sial! Saya terjebak selama satu jam di dalam kopaja tanpa buku dan bermandikan sinar matahari yang mulai terik dengan sempurna di atas kepala.

Komentar

  1. kereta ke Jakartakota yg jam 10.10(an) itu paling enak. pernah ngeliat ya jam segitu bisa dapat tempat duduk dari Pasar Minggu.
    oya, penasaran jg dgn banyaknya orang yg turun di Tebet. keknya sehabis Tebet kereta cukup longgar.

    BalasHapus
  2. Dari Senin-Minggu yang ke Tebet gak ada abisnya.

    BalasHapus

Posting Komentar