Jika ingin menikmati
perjalanan, jangan coba-coba naik kereta sekitar jam 7-8 pagi. Hiruk pikuk di
transportasi yang mengangkut warga ke pusat Jakarta sebagai tempat mengadu
nasib, tampak tumpah ruah di jam-jam sibuk seperti ini.
Senin pagi, saya tiba
pukul 7.05 di Stasiun Tanjung Barat dan seperti biasa saya menaiki kereta
jurusan Tanah Abang. Sudah lama tak berangkat sepagi ini dikarenakan libur
kuliah, saya kehilangan sebagian aktivitas namun dapat membuat saya lebih
menyesuaikan waktu di kantor (baca: masuk siang). Bosan keseringan
berangkat siang, hari itu saya semangat menyisiri kota Jakarta lebih pagi,
meski tingkat kepadatan sepertinya meningkat 200% dibanding hari-hari lainnya.
Sudah banyak yang
menunggu di peron stasiun, dengan bermacam tujuan, aktivitas dan pikiran di
dalam otaknya masing-masing. Saya tidak bisa membaca pikiran, tapi semua orang
dewasa yang akan bekerja, yang akan menuju kantornya pastilah sedang terburu-buru.
Mengejar waktu, menaiki kereta tercepat yang didapat.
Kereta dengan tujuan
Tanah Abang belum tiba sesaat sesampainya saya di stasiun. Kereta dengan tujuan
Jakarta Kota lah yang lebih dahulu sampai, lalu diikuti kereta tujuan Tanah
Abang dibelakangnya.
Di sebelah saya
berdiri seorang ibu berpakaian kantoran bersama temannya yang sedang
bercakap-cakap. Mereka tampak bahagia, tak sedikitpun tersirat wajah ngeri akan
kepadatan seperti apa yang dihadapi nantinya, mereka sudah terbiasa, terlatih, mahir
dan memilki trik-trik khusus dalam naik kereta di jam-jam padat. Bahkan dia
sempat, berkata dengan petugas kereta:
“Mas, nanti bantu
dorong ya,” ujarnya dengan gerak tubuh seperti mendorong sambil tersenyum kecil
Entah apa maksudnya,
saya belum mengerti dorongan seperti apa yang dia maksud. Ah kita lihat saja
lah nanti, rasa penasaran saya memburu sambil terus memperhatikan gerak-gerik
si ibu.
Sekitar 10 Menit
berselang, kereta yang akan saya tumpangi pun tiba.
Sempat hanya melirik
ke dalam dan saya kemudian membandingkan isi manusia di dalam kereta Jakarta
Kota yang tak ada bedanya kereta dengan tujuan Tanah Abang yang akan saya naiki,
padatnya sama-sama tingkat dewa. Parah!
Tersirat keinginan
mengurungkan niat menaiki kereta yang saat ini ada di depan mata saya.
Benar-benar tak ada celah sedikitpun. Melalui pertimbangan akan jumlah kereta
Tanah Abang yang jauh lebih sedikit
dibanding ke Jakarta Kota, saya pasrah melangkah masuk, terdorong-dorong,
berkumpul dengan penumpang lainnya yang senasib menjadi ikan pepes di dalam
gerbong wanita.
Membuktikan argumen
saya bahwa ibu yang tadi berdiri tepat di samping adalah orang yang
berpengalaman, rasa penasaran saya terbayar. Mereka dibantu didorong oleh
petugas untuk masuk ke dalam kereta yang sudah penuh tanpa celah tersebut.
Didorong terus, terus dan terus hingga si ibu dan temannya muat masuk ke dalam
dan pintu pun tertutup. Hahaha, ada-ada saja usaha orang untuk menumpang
kereta.
Semua orang rela
menahan perut, menahan nafas, menguruskan badan sesaat. Ya! Semua orang di
dalam kereta jam padat tengah berjuang. Perjuangan dimulai di hari yang sepagi
itu. Naik kereta pun membuat mereka harus bersaing, tak jarang bahkan di
antara mereka yang sengaja tak sengaja saling sikut menyikut di dalam kereta.
Yang sudah paham
dengan kehidupan di kereta, mungkin akan pasrah dan membiarkannya berlalu,
berbeda dengan yang berakal pendek, pantang disulut, ada yang akan mencari masalah, dia akan meladeni keributan meski di
keramaian kereta. Namun biasanya mereka yang berkelahi akan disambut dengan
sorakan dari seluruh penumpang di gerbong tersebut.
Syukur, tak ada
keributan di kereta yang saya tumpangi pagi itu. Melewati stasiun demi stasiun,
Pasar Minggu, Pasar Minggu baru, Duren Kalibata dan Cawang, penumpang terus
bertambah, tak imbang dengan penumpang yang keluar.
Perjuangan
mempertahankan posisi berdiri pun menjadi satu-satunya hal yang saya perhatikan
saat itu. Saat kereta berjalan tersendat-sendat, menjaga diri agar tidak
terjatuh bukanlah hal utama yang saya pikirkan di kereta padat tanpa celah
seperti pagi itu, saya bahkan tidak memiliki ruang untuk menggerakkan tangan
kaki. Saya hanya menjaga agar saya tidak mati tergencat kehabisan nafas di
tengah lautan manusia ini. Itu saja.
Namun, begitu kereta
berhenti sampai di Stasiun Tebet. Perjuangan lainnya pun dimulai lagi, saya harus berjuang
agar saya tidak terikut arus penumpang yang
hendak turun atau sekadar mengubah posisi diri ke dekat pintu agar lebih
mudah turun di stasiun Manggarai
Berapa banyak yang
turun di Tebet? Ratusan. Lebih.
Seperti layaknya
separuh warga Indonesia adalah penduduk Tebet, kerja di Tebet, nongkrong di
Tebet dan hidup untuk Tebet. Kereta
tampak lebih lengang sesaat setelah menurunkan penumpang jurusan Tebet. Populasi
kepadatan penduduk Tebet membuat saya berdecak kagum dan heran.
Mungkin tak ada
masalah dengan sebagian penumpang lainnya yang (juga tak kalah banyak) turun di
Manggarai atau Sudirman. Manggarai, sebagai pusat alih arus KA, pusat
perpindahan penumpang yang ingin ke Tanah Abang yang semula naik Commuter
jurusan Kota akan pindah dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan di Sudirman, di
sinilah 7/8 manusia yang tersisa di dalam kereta akan bermuara, di pusat
Jakarta, jantung kota.
Sebelum kereta tiba di
Stasiun Sudirman, sayup-sayup saya mendengar suara microphone diketuk-ketuk
disertai bunyi deheman dari speaker kereta yang biasanya digunakan untuk
meginformasikan nama stasiun yang akan dituju selanjutnya. Saya ingat betul,
sedari tadi tak ada informasi serupa. Sudah cukup telat saya kira untuk
memberitahukan (atau tiba-tiba mengingatkan) bahwa stasiun selanjutnya
adalah Stasiun Sudirman. Semua orang
sudah tau toh.
Lalu masinis pun
mengeluarkan suara:
“Good Morning….”
Katanya dengan nada penuh ceria, menimbulkan semburat senyum di wajah saya.
Melihat ke samping saya, orang di sebelah juga tersenyum kecil mendengar hal
yang sama.
“Sesaat lagi kita akan
mencapai stasiun sudirman. Penumpang yang akan turun, diharapkan segera
mempersiapkan diri. Perhatikan barang bawaan Anda seperti tas, laptop dan
handphone jangan sampai ada yang ketinggalan. Hati-hati melangkah, selamat
bekerja dan sampai bertemu kembali”
Belum puas menyerocos,
masinisnya kembali menambahkan
“Dan… hati-hati,” kali
ini dia mengulang kata-kata tersebut dengan nada seperti Jeremy Tety. Seketika suasana menjadi sedikit riuh di
gerbong wanita paling depan ini. Mereka berbisik-bisik terkikik. Tak bisa
bohong, segaris senyum tipis terlukis mewarnai wajah setiap perumpang yang
turun di Stasiun Sudirman dan sejumlah penumpang yang tersisa lainnya
Keadaan kereta tentu
jauh lebih lengang lagi saat kereta telah menurunkan sebagian besar penumpangnya
di Sudirman. Seharusnya saya turun di sana, berjuang mempercepat langkah ,memburu
barisan paling depan agar bisa ke luar dengan selamat, sebelum pintu ditutup.
Aaa! Tapi tidak, saya
mohon ampun. Saya lelah berjuang dengan
jalan yang sama dengan 7/8 isi penumpang dari kereta yang saya naiki. Sudah
terlintas bayangan di kepala saya, kami akan melewati jalan yang sama,
eskalator yang sama, pintu keluar yang sama dengan berdesak-desakan, saling
sikut ingin cepat, ingin mendahului berjuang lagi untuk… menaiki Kopaja 19.
Siapa cepat dia dapat, yang tangguh tentu mendapatkan tempat duduk yang nyaman,
sedangkan yang lainnya bernasib sama seperti penumpang kereta tadi. Berdiri
berdesakan.
Tidak, saya mohon
ampun untuk kali ini. Saya tidak akan melewati hal yang sama lagi. Untungnya
pengalaman pernah tersasar ke Stasiun Karet mengajarkan saya lebih tahu sedikit
jalan pilihan. Saya turun di stasiun Karet, memilih menjalani jalan yang
berbeda dengan mereka yang melintas jalan raya Sudirman.
Tiba pukul 8 di Karet,
saya sudah merasa menang hari itu dengan segenap kesabaran atas kerepotan yang
terjadi di balik penderitaan sepatu hak
tinggi dan kereta yang padat. Saya melangkah dengan bahagia, keluar dari
stasiun Sudirman. Tapi sepertinya takdir menjawab lain pada saya pagi ini.
Tentu seperti biasa saya
mendapat kursi yang nyaman di Kopaja 615 menuju Senayan, tempat kantor saya
terletak. Namun, tak ada yang menyangka, kawasan Karet yang biasanya lancar,
pagi itu harus diwarnai dengan kemacetan dikarenakan adanya kebakaran di jalan
tol.
Sial! Saya terjebak selama satu jam di dalam kopaja tanpa buku dan
bermandikan sinar matahari yang mulai terik dengan sempurna di atas kepala.
kereta ke Jakartakota yg jam 10.10(an) itu paling enak. pernah ngeliat ya jam segitu bisa dapat tempat duduk dari Pasar Minggu.
BalasHapusoya, penasaran jg dgn banyaknya orang yg turun di Tebet. keknya sehabis Tebet kereta cukup longgar.
Dari Senin-Minggu yang ke Tebet gak ada abisnya.
BalasHapus